Minggu, 27 Oktober 2013

TAUFIQ SHIDQI (1881-1920)

TAUFIQ SHIDQI (1881-1920)

PENDAHULUAN
Sunnah adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran. Keberadaannya telah disepakati oleh mayoritas ulama. Dalam perkembangannya, sunnah tidak bisa diterima oleh semua umat Islam. ada juga dari mereka yang menolak keberadaan sunnah dan beranggapan kalau untuk ajaran Islam itu cukup hanya dengan berpedoman kepada Al-Quran saja.
Sejarah telah mencatat bahwa golongan yang menolak tentang keberadaan sunnah atau yang lebih di kenal dengan gerakan inkar sunnah telah terjadi pada abad ke-3 H. Yaitu ketika masanya Imam Syafi’i. Maka muncullah golongan yang inkar sunnah (munkir al-sunnah) dan pembela sunnah (nashir al-sunnah). Setelah gejolak itu sudah mulai meredam, pada abad modern (abad ke-19-20 M) ini mulai muncul lagi golongan penginkar sunnah[1]. Dan salah satu tokoh pelopor munculnya golongan ini adalah ulama dari Mesir yaitu Taufiq Shidqi.
Banyak gagasan yang muncul darinya. Ia memulainya dengan mengkritik hadit-hadist yang berada dalam Al-Manar. Bantahan yang ia sampaikan kepada pemikiran Rasyid Ridha di ungkapkan dengan argumen yang logis. Tetapi pendapatnya ini juga mendapat kritik dari berbagai pihak ulama termasuk oleh Rasyid Ridho sendiri. Lalu seperti apa pemikiran dan tanggapan yang ia berikan dalam pemikirannya tentang inkar sunnah.

PEMBAHASAN
A.    Biografi Taufiq Shidqi
Dr. Muhammad Taufiq Shidqi adalah seorang dokter di penjara Departeman Pemerintahan daerah Kota Thurra. Thurra adalah sebuah kota kecil yang berada di dekat Kota Kairo Mesir. Tidak ada info yang menjelaskan secara mendetail tentang asal-usul dati Taufiq Shidqi, baik dari kelahirannya maupun latar belakang pendidikannya.
Pemakalah hanya menemukan informasi tentang tahun kelahirannya yaitu tahun 1881 M dan wafatnya tahun 1920 M. Dalam riwayat pendidikannya hanya di beritakan bahwa ia adalah murid dari Rasyid Ridha.[2] Ia melakukan studi tentang berbagai masalah teologi. Selain itu ia juga mempelajari buku-buku apologetik. Yaitu buku yang membicarakan tentang cabang ilmu teologi yang mempelajari tentang pembuktian dan mempertahankan ajaran agama kristen.[3] Pembacaannya tentang beberapa literatur mengenai polemik misionaris Kristen yang dilihat dari perspektif Islam itu yang akhirnya melahirkan keraguan-keraguan yang mempengaruhi paradigma pemikirannya.
Selain itu ia juga membaca tentang buku-buku yang berhubungan tentang kedokteran, sehingga ia sedikita-banyak tahu tentang ilmu pengobatan dan tentang kedokteran. Buku-buku yang ia baca tentang kedokteran itulah yang mulai menimbulkan gejolak dalam dirinya. Dimana ia menkritisi hadist-hadist yang berhubungan tentang pengobatan yang di anggapnya ganjil jika dilihat dari pespektif ilmu kedokteran modern.[4] Selain itu, pemakalah tidak menemukan info lebih lanjut mengenai biografi dan latar belakang pendidikannya.

B.     Shidqi Sebagai Pembahas Pertama Hadist dalam Al-Manar
Pembahasan mengenai tokoh ini tidak luput dari kontribusinya dalam menyumbangkan pemikirannya terhadap majalah Al-Manar yang karang oleh M. Rasyid Ridha. Shidqi dikenal sebagai orang yang pertama kali menuliskan kritik pemikirannya tentang hadist melaluli sebuah artikel dalam majalah Al-Manar dengan judul yang sangat kontroversial yaitu “al-Islam Huwa al-Quran Wahdahu” atau Ajaran agama Islam adalah Al-Quran itu sendiri.[5] Melalui karya ini, Shidqi menyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan sunnah, karena Al-Quran telah memberikan jawaban segala persoalan dalam kehidupan. Menurutnya, semua orang Islam tidak ada yang meragukan otoritas nash Al-Quran, berbeda dengan Hadist yang baru di tulis beberapa abad setelah Rasul saw wafat.
Shidqi mengutip ayat Al-Quran dalam Surat Al-An’am:
... مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍ...
Artinya: “ ... Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab..”
Dan surat An-Nahl : 89
... وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ ...
Artinya:“...Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu...”

Rabu, 23 Oktober 2013

MUHAMMAD ABDUH (1859-1909) “Pelopor Pembaharu Studi Hadits”


MUHAMMAD ABDUH (1859-1909)
“Pelopor Pembaharu Studi Hadits”

A.    Sejarah Muhammad abduh dan perlawatan keilmuannya
Muhammad Abduh terlahir di sebuah desa dalam suatu keluarga petani biasa. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah, seorang berdarah Turki. Sedangkan ibunya mempunyai silsilah keturunan orang besar Islam yaitu Umar bin Khattab, yaitu khalifah kedua Khulafaur Rasyidin. Muhammad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khiyarullah. Ia dilahirkan di pesisir Kota Thanta, al-Buhairah, Mesir pada tahun 1265 H (sekitar tahun 1859) M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan.
Seperti kebanyakan orang tua di sana, ayahnya mengirim Abduh untuk belajar di al Jami’ al Ahmadi di Thanta. Di sana Abduh mempelajari tajwid al qur’an untuk menguatkan hafalannya. Juga ilmu-ilmu tentang fiqih dan nahwu. Dari sinilah orang bisa melihat kecerdasannya, karena saat pertama belajar nahwu ia langsung merujuk pada kitab al Thammah al kubro (kitab nahwu terbesar yang tidak biasa digunakan oleh selain “Pemula”). Ia juga mempelajari filsafat Ibnu Sina dan filsafat Aristoteles dari Syeikh Hasan al Thawil dan juga sastra arab kepada Syeikh al Basyuni.
Pada usia remaja, terdapat beberapa kejadian penting yang mempengaruhi pemikiran beliau. Pertama, di usia 15 tahun beliau meneruskan studinya ke al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana timbul ketidak sepemahaman beliau tentang praktik mengajar yang diterapkan. Kedua, pemikirannya mulai tertuju pada paham sufistik yang didapatkan dari pamannya, Syaikh Darwisy Khidr. Seseorang yang paham betul mengenai Ulum al Qur’an dan menganut paham Tasawwuf al Syadliliyyah. Pada periode ini hingga tahun 1871 M, beliau sering berkomunikasi dengan Jamaluddin al Afghani. Sehingga, pemikiran beliau terhadap tasawwuf mulai diartikan secara luas untuk memperbaiki realita sosial masyarakat menuju ajaran-ajaran agama. Dan al Afghani juga yang memperkenalkan beliau untuk berpikir filosofis.
Pada tahun 1897, dalam karya fenomenalnya “Risalah al Tauhid” yang berupa uraian ringkas tentang Islam. Sebagian ulama mengkategorikan kitab tersebut sebagai kitab aqidah, di dalamnya terdapat satu bab khusus yang membahas berisi pandangan beliau terhadap hadits-hadits Nabi berikut kevaliditasan periwayatan serta bagaimana memahami hadits-hadits yang sampai kepada kita. Hingga pada saat meletusnya pemberontakan kaum wahhabiy tahun 1882 M, beliau diduga terlibat, dan seketika itulah pada tanggal 22 September 1882  beliau langsung diasingkan ke Beirut. Setelah dua tahun kemudian Jamaluddinal Afghani mengajak beliau pindah ke Paris, Prancis. Beliau  kembali ke Mesir pada Tahun 1888, dan diangkat menjadi Qadhi di salah satu mahkamah peradilan hingga wafat pada tahun 11 Juni 1909 M/ 8 Jumadil ula 1323 H.

B. Sketsa Historis Kehidupan Abduh dan Pengaruhnya Terhadap Peta Umum Pemikirannya

Syah Waliyullah al-Dihlawi (1703-1762) “Pakar Hadis Terkemuka Dari Delhi”


Syah Waliyullah al-Dihlawi (1703-1762)
“Pakar Hadis Terkemuka Dari Delhi”

A.    Tentang Syah Waliyullah al-Dihlawi
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad ibn al-Syahid ibn Muazzam ibn Mansur ibn Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al-Din, dan lebih dikenal dengan sebutan Syah Waliyullah al-Dihlawi. Ia lahir pada hari Rabu, 4 Syawal 1214/21 Februari 1703 di Delhi. Ia adalah anak pertama dari perkawinan ayahnya yang kedua pada usia 60 tahun. Ayahnya adalah seorang pengamal tariqat Naqsabandiyah Chistiyah, dan Qadiriyah.
Gelar Syah menandakan bahwa ia berasal dari kalangan keluarga terhormat. Sedangkan gelar Waliyullah terdapat cerita mistik tentangnya. Yakni bahwa ayahnya, ‘Abd al-Mun’im al-Namir (w.1719), berulang kali menerima pemberitahuan gaib lewat mimpi bahwa ia akan mendapatkan seorang putra yang alim. Beberapa wali terkemuka semisal Qutb al-Din al-Bakhtiar Ka’ki menyuruhnya menamai anaknya yang akan lahir nanti dengan nama Waliyullah.
Pada usianya yang ketujuh, ketika ia untuk pertama kalinya khatam al-Qur’an, ia sudah bisa membaca risalah-risalah bahasa persia. Al-Dihlawi menikah di usia yang sangat dini, yaitu 14 tahun atas desakan ayahnya. Ia masuk thariqat Naqsabandiyah saat berumur 15 tahun dibawah bimbingan ayahnya. Ia memiliki 2 orang istri serta mendapatkan seorang putra bernama Syah Muhammad dan seorang putri bernama ‘Ammat al-Aziz dari istri pertamanya, dan empat orang putra bernama Syah ‘Abd al-‘Aziz Muhaddith Dehlavi, Syah Rafi’ al-Din, Syah ‘Abd al-Qadir, dan Syah ‘Abd al-Ghani dan seorang putri dari istri keduanya. Melalui merekalah ajarannya tersebar ke sebagian besar wilayah India. Ia wafat 20 Agustus 1762 dalam usia 59 tahun.
Al-Dihlawi berangkat menunaikan ibadah Haji di bulan April 1731 M/1143 H. Ia lantas menetap di Makkah selama 14 bulan dan kembali ke Delhi pada Desember 1732 M. Terdapat praduga-praduga mengebai tingggalnya Syah Waliyullah di Hijaz setelah haji. Ada yang berpendapat bahwa ia lebih dulu menetap di Hijaz karena ingin memperluas ilmunya. Namun, menurut M. Mujeeb tindakannya ini dikarenakan al-Dihlawi ingin menghindari reaksi dari ulama konservatif yang tidak setuju terhadap perbuatannya yang telah menterjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Persia. Karena menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa lain adalah tindakan yang sangat berani pada saat itu.
Kehidupannya di Hijaz tentu saja mempengaruhi cara berpikirnya dalam permasalahan hadis, fiqh, dan tasawuf. Guru-gurunya di Makkah memperkenalkan kosmopolitanisme ilmu hadis yang mulai berkembang dengan pesat pada abad 18, seiring terjadinya percampuran berbagai tradisi kajian dan metode pengujian hadis yang berbeda-beda. Saat di Makkah, ia memberikan perhatian khusus pada kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan nantinya ia menulis dua buah buku tentang ulasannya dengan judul Musawa dan Mushaffa.
Zafrul Islam Khan dalam pendahuluan al-Ishnaf berkata terdapat lebih dari 100 kitab yang telah ditulis oleh al-Dihlawi, baik berbahasa Persia maupun Arab. Karyanya yang terlengkap adalah Hujjatullah al-Balighah dan al-Budur al-Bazighah. Namun, kitab yang disebut kedua lebih memasukkan gagasan filsafat mistik dan tidak banyak mengupas hadis.

B.     Pemikiran al-Dihlawi Tentang Sunnah