TAUFIQ SHIDQI (1881-1920)
PENDAHULUAN
Sunnah adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran. Keberadaannya
telah disepakati oleh mayoritas ulama. Dalam perkembangannya, sunnah tidak bisa
diterima oleh semua umat Islam. ada juga dari mereka yang menolak keberadaan
sunnah dan beranggapan kalau untuk ajaran Islam itu cukup hanya dengan
berpedoman kepada Al-Quran saja.
Sejarah telah mencatat bahwa golongan yang menolak tentang
keberadaan sunnah atau yang lebih di kenal dengan gerakan inkar sunnah telah
terjadi pada abad ke-3 H. Yaitu ketika masanya Imam Syafi’i. Maka muncullah
golongan yang inkar sunnah (munkir al-sunnah) dan pembela sunnah (nashir
al-sunnah). Setelah gejolak itu sudah mulai meredam, pada abad modern (abad
ke-19-20 M) ini mulai muncul lagi golongan penginkar sunnah[1].
Dan salah satu tokoh pelopor munculnya golongan ini adalah ulama dari Mesir
yaitu Taufiq Shidqi.
Banyak gagasan yang muncul darinya. Ia memulainya dengan mengkritik
hadit-hadist yang berada dalam Al-Manar. Bantahan yang ia sampaikan kepada
pemikiran Rasyid Ridha di ungkapkan dengan argumen yang logis. Tetapi
pendapatnya ini juga mendapat kritik dari berbagai pihak ulama termasuk oleh
Rasyid Ridho sendiri. Lalu seperti apa pemikiran dan tanggapan yang ia berikan
dalam pemikirannya tentang inkar sunnah.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Taufiq Shidqi
Dr. Muhammad Taufiq Shidqi adalah seorang dokter di penjara
Departeman Pemerintahan daerah Kota Thurra. Thurra adalah sebuah kota kecil
yang berada di dekat Kota Kairo Mesir. Tidak ada info yang menjelaskan secara mendetail
tentang asal-usul dati Taufiq Shidqi, baik dari kelahirannya maupun latar belakang
pendidikannya.
Pemakalah hanya menemukan informasi tentang tahun kelahirannya
yaitu tahun 1881 M dan wafatnya tahun 1920 M. Dalam riwayat pendidikannya hanya
di beritakan bahwa ia adalah murid dari Rasyid Ridha.[2] Ia
melakukan studi tentang berbagai masalah teologi. Selain itu ia juga
mempelajari buku-buku apologetik. Yaitu buku yang membicarakan tentang cabang
ilmu teologi yang mempelajari tentang pembuktian dan mempertahankan ajaran
agama kristen.[3]
Pembacaannya tentang beberapa literatur mengenai polemik misionaris Kristen
yang dilihat dari perspektif Islam itu yang akhirnya melahirkan
keraguan-keraguan yang mempengaruhi paradigma pemikirannya.
Selain itu ia juga membaca tentang buku-buku yang berhubungan
tentang kedokteran, sehingga ia sedikita-banyak tahu tentang ilmu pengobatan
dan tentang kedokteran. Buku-buku yang ia baca tentang kedokteran itulah yang
mulai menimbulkan gejolak dalam dirinya. Dimana ia menkritisi hadist-hadist
yang berhubungan tentang pengobatan yang di anggapnya ganjil jika dilihat dari
pespektif ilmu kedokteran modern.[4]
Selain itu, pemakalah tidak menemukan info lebih lanjut mengenai biografi dan
latar belakang pendidikannya.
B.
Shidqi Sebagai Pembahas Pertama Hadist dalam Al-Manar
Pembahasan mengenai tokoh ini tidak luput dari kontribusinya dalam
menyumbangkan pemikirannya terhadap majalah Al-Manar yang karang oleh M. Rasyid
Ridha. Shidqi dikenal sebagai orang yang pertama kali menuliskan kritik
pemikirannya tentang hadist melaluli sebuah artikel dalam majalah Al-Manar
dengan judul yang sangat kontroversial yaitu “al-Islam Huwa al-Quran
Wahdahu” atau Ajaran agama Islam adalah Al-Quran itu sendiri.[5]
Melalui karya ini, Shidqi menyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan sunnah,
karena Al-Quran telah memberikan jawaban segala persoalan dalam kehidupan.
Menurutnya, semua orang Islam tidak ada yang meragukan otoritas nash
Al-Quran, berbeda dengan Hadist yang baru di tulis beberapa abad setelah Rasul
saw wafat.
Shidqi mengutip ayat Al-Quran dalam Surat Al-An’am:
... مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍ...
Artinya: “ ... Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab..”
Dan surat An-Nahl : 89
... وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ ...
Artinya:“...Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu...”