MUHAMMAD ABDUH (1859-1909)
“Pelopor Pembaharu Studi Hadits”
A. Sejarah Muhammad abduh dan perlawatan
keilmuannya
Muhammad Abduh terlahir di sebuah
desa dalam suatu keluarga petani biasa. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan
Khairullah, seorang berdarah Turki. Sedangkan ibunya mempunyai silsilah
keturunan orang besar Islam yaitu Umar bin Khattab, yaitu khalifah kedua Khulafaur Rasyidin. Muhammad Abduh
bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khiyarullah. Ia dilahirkan di
pesisir Kota Thanta, al-Buhairah, Mesir pada tahun 1265 H (sekitar tahun 1859)
M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan
bangsawan.
Seperti kebanyakan orang tua di
sana, ayahnya mengirim Abduh untuk belajar di al Jami’ al Ahmadi di Thanta.
Di sana Abduh mempelajari tajwid al qur’an untuk menguatkan
hafalannya. Juga ilmu-ilmu tentang fiqih
dan nahwu. Dari sinilah orang bisa
melihat kecerdasannya, karena saat pertama belajar nahwu ia langsung merujuk
pada kitab al Thammah al kubro (kitab
nahwu terbesar yang tidak biasa
digunakan oleh selain “Pemula”). Ia juga mempelajari filsafat Ibnu Sina dan filsafat Aristoteles dari
Syeikh Hasan al Thawil dan juga sastra arab kepada Syeikh al Basyuni.
Pada usia remaja, terdapat beberapa
kejadian penting yang mempengaruhi pemikiran beliau. Pertama, di usia 15 tahun
beliau meneruskan studinya ke al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana timbul ketidak
sepemahaman beliau tentang praktik mengajar yang diterapkan. Kedua, pemikirannya
mulai tertuju pada paham sufistik yang didapatkan dari pamannya, Syaikh Darwisy
Khidr. Seseorang yang paham betul mengenai Ulum
al Qur’an dan menganut paham Tasawwuf
al Syadliliyyah. Pada periode ini hingga tahun 1871 M, beliau sering
berkomunikasi dengan Jamaluddin al Afghani. Sehingga, pemikiran beliau terhadap
tasawwuf mulai diartikan secara luas untuk memperbaiki realita sosial
masyarakat menuju ajaran-ajaran agama. Dan al Afghani juga yang memperkenalkan
beliau untuk berpikir filosofis.
Pada tahun 1897, dalam karya
fenomenalnya “Risalah al Tauhid” yang
berupa uraian ringkas tentang Islam. Sebagian ulama mengkategorikan kitab
tersebut sebagai kitab aqidah, di dalamnya terdapat satu bab khusus yang
membahas berisi pandangan beliau terhadap hadits-hadits Nabi berikut
kevaliditasan periwayatan serta bagaimana memahami hadits-hadits yang sampai
kepada kita. Hingga pada saat meletusnya pemberontakan kaum wahhabiy tahun 1882 M, beliau diduga
terlibat, dan seketika itulah pada tanggal 22 September 1882 beliau langsung diasingkan ke Beirut. Setelah
dua tahun kemudian Jamaluddinal Afghani mengajak beliau pindah ke Paris,
Prancis. Beliau kembali ke Mesir pada
Tahun 1888, dan diangkat menjadi Qadhi di
salah satu mahkamah peradilan hingga wafat pada tahun 11 Juni 1909 M/ 8 Jumadil
ula 1323 H.
B.
Sketsa Historis Kehidupan Abduh dan Pengaruhnya
Terhadap Peta Umum Pemikirannya
Abduh hidup sekitar abad 12 sampai 19, abad dimana
kajian-kajian terhadap ilmu keislaman mengalami kemunduran. Budaya taqlid
buta masih menjadi kebiasaan yang sulit dihapus, hingga akhirnya Abduh
memberikan teori baru : al tajdid (Pembaharuan ). Abduh benar-benar
ingin membebaskan pikiranya dari budaya ulama konservatif. Yang kemudian hal
ini menjadi corak berpikirnya. Dalam kitab al Tafsir wal Mufassirun, adz
Dzahaby menyatakan bahwa “madrosah Muhammad Abduh steril dari pengaruh madzhab-madzhab
sebagaimana ulama terdahulu yang mengikuti madzhab tertentu.
Untuk menggapai keinginannya tersebut, beliau
cenderung lebih suka dengan metode berpikir barat yang jauh dari kesan kejumud-an.
Namun, beliau juga menjauhkan dirinya dari pemahaman materialism dan
sekularisme Barat. Dengan kata lain, Abduh ingin menggunakan metode berpikir
barat dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai keislaman untuk menghidupkannya.
Diantara contoh sikap antinya terhadap kejumud-an adalah ungkapan beliau
mengenai Kontekstualisasi Hukum Islam : “Jika kondisi suatu hukum saat
ditetapkan, berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah”.
C. Pemikiran Abduh Mengenai Kedudukan Hadits Dalam
Hukum Islam
Disebutkan dalam “Risalah at Tauhid-nya” : “setelah
kita meyakini kenabian Saw, tak ada keraguan, bahwa kita harus mengimani
hadits-hadits yang dibawa olehnya”. Meskipun Abduh berbeda dengan ulama lainnya
dalam menilai hadits maqbul. Abduh berpendapat :
“Baik wahyu maupun akal menunjukkan kenyataan bahwa
pasti ada satu pencipta yang merupakan Prima Causa (sebab pertama) dari semua
yang tercipta dan abadi. Sang Pencipta lalu mengutus seorang nabi untuk
menjelaskan kehendak-Nya. Karenanya, sangat berntunglah sang interpretator jika
rumusannya sesuai dengan harfiah wahyu. Namun jika tidak, hendaknya ia tunduk
dan patuh terhadap wahyu tersebut dan tidak memaksa dirinya untuk menggunakan
ta’wil. Ta’wil hanya boleh digunakan untuk membela agama dari serangan kaum
kafir.”
Di dalam kitab yang sama juga, Abduh mengemukaan
gagasannya tentang hadits-hadits yang bisa dijadikan hujjah. Beliau
menigemukakan :
Yang dimaksud dengan yang datang dari Nabi (sehingga
harus diterima) adalah khobar mutawatir yang memenuhi syarat : diriwayatkan
oleh jama’ah yang tak mungkin bersepakat untuk berbohong. Sedangkan hadits
ahad, bisa dianggap shahih jika disampaikan oleh orang yang mengetahui
keabsahannya. Dan ia tidak dianggap mutawatir jika perawinya ragu dalam
menyampaikan hadits tersebut. Tidak mempercayai hadits seperti ini bukanlah
suatu “cela” bagi keimanan seseorang. Sebaliknya bagi yang mengingkari sebuah
hadits, padahal ia mengetahui bahwa itu berasal dari Nabi, maka ia telah
berdusta. Termasuk di dalamnya orang yang mengabaikan sesuatu yang mutawatir,
yakni al Qur’an dan beberapa sunnah amaliyyah.
Abduh berpendapat bahwa hadits ahad qauly tidak dapat dijadikan hujjah. Mekipun
sebagian ulama mengakui kemaqbulan hadits ahad jika lulus kualitas
sanadnya melalui takhrij dan tahqiq. Namun, tidak dengan Abduh,
beliau mengatakan bahwa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagaimana banyak ulama tidak akan menolak suatu hadits dijadikan sebagai hujjah
karena ketersambungan sanad dan kredibilitas rawi.
D. Contoh Aplikasi Teori Otentisitas Abduh
Kontroversi pemikirannya tentang hadits tersihirnya
Nabi .yang termaktub dalam shahih al bukhory No.5324. Menurut Abduh, Nabi
Muhammad tidak mungkin terkena sihir, barang kali ini hanya khobar israiliyyat
dari guru-guru al Bukhary. Dan jika kita mempercayai ketersihiran Nabi, maka
kita telah mempercayai perkataan orang-orang dhalim. Hadits ini termasuk dalam
kategori ahad dan sama sekali tidak berkaitan tentang aqidah. Meskipun
demikian, Abduh mengkategorikan hadits ini dha’if daripada harus meyakini bahwa
Nabi terkena sihir. Dan banyak kontroversi lainnya, antara lain mengenai ayat
pertama turun yang termaktub dalam shahih
al bukhary dan muslim karena tidak sejalan dengan pemikiran logika.
E. Kritik-Kritik Terhadap Pemikiran Muhammad Abduh
Berikut adalah beberapa pemikiran Abduh yang menuai
kritik dari berbagai kalangan :
Menurut Sulaiman al Dunya (Profesor filsafat Univ.
al Azhar), metode Abduh lebih banyak dipraktikan oleh ahli-ahli spekulatif (kalamiyyun)
dimana rasio lebih dominan dari pada naql. Adanya inkonsistensi mengenai
pemikiran beliau tentang larangan penggunaan ta’wil terhadap teks yang
bertentangan dengan akal, sama halnya mempercayai kata-kata hampa yang tak ada
artinya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau berada di antara filosof
yang berpengalaman dan orang yang kuat beragama.
Sedangkan menurut al Dzahaby, Abduh cenderung
menggunakan rasio dalam menilai hadits. Dan sering kali menilai suatu hadits, dha’if
dan maudlu’, padahal hadits
tersebut adalah shahih yang diriwayatkan oleh al Bukhary dan Muslim.
Begitu juga banyak hadits tentang aqidah dan al sam’iyyat yang
dianggap berstatus Ahad. Begitu pula Rasyid Ridho menyatakan gurunya
memiliki kekurangan dalam ilmu hadits, baik menyangkut riwayat, hafalan dan al
jarh wal ta’dil.
F. Kesimpulan
Terlahir di era ke jumud- an, dimana kajian
keislaman mengalami kemunduran yang sangat berpotensi menghancurkan ruh
keislaman itu sendiri secara perlahan. Terlepas dari beberapa kritikan sebagian
kalangan terhadap pemikiran beliau yang cenderung mengedepankan rasio, menilai
hadits yang shahih pada al Bukhary dan Muslim menjadi berstatus Ahad,
jika bertentangan dengan logika serta penilaiannya tentang hadits yang hanya
berputar pada sanadnya saja meski dengan menggunakan teori ulama terdahulu.
Namun, walaupun demikian setidaknya pemikiran Abduh di atas menjadi terobosan
baru yang menarik direinterpretasi oleh para pengkaji hadits selanjutnya agar
keotentikannya semakin representatif dan relevan seiring berkembangnya zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar