Rabu, 23 Oktober 2013

MUHAMMAD ABDUH (1859-1909) “Pelopor Pembaharu Studi Hadits”


MUHAMMAD ABDUH (1859-1909)
“Pelopor Pembaharu Studi Hadits”

A.    Sejarah Muhammad abduh dan perlawatan keilmuannya
Muhammad Abduh terlahir di sebuah desa dalam suatu keluarga petani biasa. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah, seorang berdarah Turki. Sedangkan ibunya mempunyai silsilah keturunan orang besar Islam yaitu Umar bin Khattab, yaitu khalifah kedua Khulafaur Rasyidin. Muhammad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khiyarullah. Ia dilahirkan di pesisir Kota Thanta, al-Buhairah, Mesir pada tahun 1265 H (sekitar tahun 1859) M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan.
Seperti kebanyakan orang tua di sana, ayahnya mengirim Abduh untuk belajar di al Jami’ al Ahmadi di Thanta. Di sana Abduh mempelajari tajwid al qur’an untuk menguatkan hafalannya. Juga ilmu-ilmu tentang fiqih dan nahwu. Dari sinilah orang bisa melihat kecerdasannya, karena saat pertama belajar nahwu ia langsung merujuk pada kitab al Thammah al kubro (kitab nahwu terbesar yang tidak biasa digunakan oleh selain “Pemula”). Ia juga mempelajari filsafat Ibnu Sina dan filsafat Aristoteles dari Syeikh Hasan al Thawil dan juga sastra arab kepada Syeikh al Basyuni.
Pada usia remaja, terdapat beberapa kejadian penting yang mempengaruhi pemikiran beliau. Pertama, di usia 15 tahun beliau meneruskan studinya ke al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana timbul ketidak sepemahaman beliau tentang praktik mengajar yang diterapkan. Kedua, pemikirannya mulai tertuju pada paham sufistik yang didapatkan dari pamannya, Syaikh Darwisy Khidr. Seseorang yang paham betul mengenai Ulum al Qur’an dan menganut paham Tasawwuf al Syadliliyyah. Pada periode ini hingga tahun 1871 M, beliau sering berkomunikasi dengan Jamaluddin al Afghani. Sehingga, pemikiran beliau terhadap tasawwuf mulai diartikan secara luas untuk memperbaiki realita sosial masyarakat menuju ajaran-ajaran agama. Dan al Afghani juga yang memperkenalkan beliau untuk berpikir filosofis.
Pada tahun 1897, dalam karya fenomenalnya “Risalah al Tauhid” yang berupa uraian ringkas tentang Islam. Sebagian ulama mengkategorikan kitab tersebut sebagai kitab aqidah, di dalamnya terdapat satu bab khusus yang membahas berisi pandangan beliau terhadap hadits-hadits Nabi berikut kevaliditasan periwayatan serta bagaimana memahami hadits-hadits yang sampai kepada kita. Hingga pada saat meletusnya pemberontakan kaum wahhabiy tahun 1882 M, beliau diduga terlibat, dan seketika itulah pada tanggal 22 September 1882  beliau langsung diasingkan ke Beirut. Setelah dua tahun kemudian Jamaluddinal Afghani mengajak beliau pindah ke Paris, Prancis. Beliau  kembali ke Mesir pada Tahun 1888, dan diangkat menjadi Qadhi di salah satu mahkamah peradilan hingga wafat pada tahun 11 Juni 1909 M/ 8 Jumadil ula 1323 H.

B. Sketsa Historis Kehidupan Abduh dan Pengaruhnya Terhadap Peta Umum Pemikirannya
Abduh hidup sekitar abad 12 sampai 19, abad dimana kajian-kajian terhadap ilmu keislaman mengalami kemunduran. Budaya taqlid buta masih menjadi kebiasaan yang sulit dihapus, hingga akhirnya Abduh memberikan teori baru : al tajdid (Pembaharuan ). Abduh benar-benar ingin membebaskan pikiranya dari budaya ulama konservatif. Yang kemudian hal ini menjadi corak berpikirnya. Dalam kitab al Tafsir wal Mufassirun, adz Dzahaby menyatakan bahwa “madrosah Muhammad Abduh steril dari pengaruh madzhab-madzhab sebagaimana ulama terdahulu yang mengikuti madzhab tertentu.
Untuk menggapai keinginannya tersebut, beliau cenderung lebih suka dengan metode berpikir barat yang jauh dari kesan kejumud-an. Namun, beliau juga menjauhkan dirinya dari pemahaman materialism dan sekularisme Barat. Dengan kata lain, Abduh ingin menggunakan metode berpikir barat dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai keislaman untuk menghidupkannya. Diantara contoh sikap antinya terhadap kejumud-an adalah ungkapan beliau mengenai Kontekstualisasi Hukum Islam : “Jika kondisi suatu hukum saat ditetapkan, berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah”.
C. Pemikiran Abduh Mengenai Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam
Disebutkan dalam “Risalah at Tauhid-nya” : “setelah kita meyakini kenabian Saw, tak ada keraguan, bahwa kita harus mengimani hadits-hadits yang dibawa olehnya”. Meskipun Abduh berbeda dengan ulama lainnya dalam menilai hadits maqbul. Abduh berpendapat :
“Baik wahyu maupun akal menunjukkan kenyataan bahwa pasti ada satu pencipta yang merupakan Prima Causa (sebab pertama) dari semua yang tercipta dan abadi. Sang Pencipta lalu mengutus seorang nabi untuk menjelaskan kehendak-Nya. Karenanya, sangat berntunglah sang interpretator jika rumusannya sesuai dengan harfiah wahyu. Namun jika tidak, hendaknya ia tunduk dan patuh terhadap wahyu tersebut dan tidak memaksa dirinya untuk menggunakan ta’wil. Ta’wil hanya boleh digunakan untuk membela agama dari serangan kaum kafir.”
Di dalam kitab yang sama juga, Abduh mengemukaan gagasannya tentang hadits-hadits yang bisa dijadikan hujjah. Beliau menigemukakan :
Yang dimaksud dengan yang datang dari Nabi (sehingga harus diterima) adalah khobar mutawatir yang memenuhi syarat : diriwayatkan oleh jama’ah yang tak mungkin bersepakat untuk berbohong. Sedangkan hadits ahad, bisa dianggap shahih jika disampaikan oleh orang yang mengetahui keabsahannya. Dan ia tidak dianggap mutawatir jika perawinya ragu dalam menyampaikan hadits tersebut. Tidak mempercayai hadits seperti ini bukanlah suatu “cela” bagi keimanan seseorang. Sebaliknya bagi yang mengingkari sebuah hadits, padahal ia mengetahui bahwa itu berasal dari Nabi, maka ia telah berdusta. Termasuk di dalamnya orang yang mengabaikan sesuatu yang mutawatir, yakni al Qur’an dan beberapa sunnah amaliyyah.
Abduh berpendapat bahwa hadits ahad qauly  tidak dapat dijadikan hujjah. Mekipun sebagian ulama mengakui kemaqbulan hadits ahad jika lulus kualitas sanadnya melalui takhrij dan tahqiq. Namun, tidak dengan Abduh, beliau mengatakan bahwa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana banyak ulama tidak akan menolak suatu hadits dijadikan sebagai hujjah karena ketersambungan sanad dan kredibilitas rawi.
D. Contoh Aplikasi Teori Otentisitas Abduh
Kontroversi pemikirannya tentang hadits tersihirnya Nabi .yang termaktub dalam shahih al bukhory No.5324. Menurut Abduh, Nabi Muhammad tidak mungkin terkena sihir, barang kali ini hanya khobar israiliyyat dari guru-guru al Bukhary. Dan jika kita mempercayai ketersihiran Nabi, maka kita telah mempercayai perkataan orang-orang dhalim. Hadits ini termasuk dalam kategori ahad dan sama sekali tidak berkaitan tentang aqidah. Meskipun demikian, Abduh mengkategorikan hadits ini dha’if daripada harus meyakini bahwa Nabi terkena sihir. Dan banyak kontroversi lainnya, antara lain mengenai ayat pertama turun yang  termaktub dalam shahih al bukhary dan muslim karena tidak sejalan dengan pemikiran logika.

E. Kritik-Kritik Terhadap Pemikiran Muhammad Abduh
Berikut adalah beberapa pemikiran Abduh yang menuai kritik dari berbagai kalangan :
Menurut Sulaiman al Dunya (Profesor filsafat Univ. al Azhar), metode Abduh lebih banyak dipraktikan oleh ahli-ahli spekulatif (kalamiyyun) dimana rasio lebih dominan dari pada naql. Adanya inkonsistensi mengenai pemikiran beliau tentang larangan penggunaan ta’wil terhadap teks yang bertentangan dengan akal, sama halnya mempercayai kata-kata hampa yang tak ada artinya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau berada di antara filosof yang berpengalaman dan orang yang kuat beragama.
Sedangkan menurut al Dzahaby, Abduh cenderung menggunakan rasio dalam menilai hadits. Dan sering kali menilai suatu hadits, dha’if  dan maudlu’, padahal hadits tersebut adalah shahih yang diriwayatkan oleh al Bukhary dan Muslim. Begitu juga banyak hadits tentang aqidah dan al sam’iyyat yang dianggap berstatus Ahad. Begitu pula Rasyid Ridho menyatakan gurunya memiliki kekurangan dalam ilmu hadits, baik menyangkut riwayat, hafalan dan al jarh wal ta’dil.
F. Kesimpulan
Terlahir di era ke jumud­­- an, dimana kajian keislaman mengalami kemunduran yang sangat berpotensi menghancurkan ruh keislaman itu sendiri secara perlahan. Terlepas dari beberapa kritikan sebagian kalangan terhadap pemikiran beliau yang cenderung mengedepankan rasio, menilai hadits yang shahih pada al Bukhary dan Muslim menjadi berstatus Ahad, jika bertentangan dengan logika serta penilaiannya tentang hadits yang hanya berputar pada sanadnya saja meski dengan menggunakan teori ulama terdahulu. Namun, walaupun demikian setidaknya pemikiran Abduh di atas menjadi terobosan baru yang menarik direinterpretasi oleh para pengkaji hadits selanjutnya agar keotentikannya semakin representatif dan relevan seiring berkembangnya zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar