TAUFIQ SHIDQI (1881-1920)
PENDAHULUAN
Sunnah adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran. Keberadaannya
telah disepakati oleh mayoritas ulama. Dalam perkembangannya, sunnah tidak bisa
diterima oleh semua umat Islam. ada juga dari mereka yang menolak keberadaan
sunnah dan beranggapan kalau untuk ajaran Islam itu cukup hanya dengan
berpedoman kepada Al-Quran saja.
Sejarah telah mencatat bahwa golongan yang menolak tentang
keberadaan sunnah atau yang lebih di kenal dengan gerakan inkar sunnah telah
terjadi pada abad ke-3 H. Yaitu ketika masanya Imam Syafi’i. Maka muncullah
golongan yang inkar sunnah (munkir al-sunnah) dan pembela sunnah (nashir
al-sunnah). Setelah gejolak itu sudah mulai meredam, pada abad modern (abad
ke-19-20 M) ini mulai muncul lagi golongan penginkar sunnah[1].
Dan salah satu tokoh pelopor munculnya golongan ini adalah ulama dari Mesir
yaitu Taufiq Shidqi.
Banyak gagasan yang muncul darinya. Ia memulainya dengan mengkritik
hadit-hadist yang berada dalam Al-Manar. Bantahan yang ia sampaikan kepada
pemikiran Rasyid Ridha di ungkapkan dengan argumen yang logis. Tetapi
pendapatnya ini juga mendapat kritik dari berbagai pihak ulama termasuk oleh
Rasyid Ridho sendiri. Lalu seperti apa pemikiran dan tanggapan yang ia berikan
dalam pemikirannya tentang inkar sunnah.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Taufiq Shidqi
Dr. Muhammad Taufiq Shidqi adalah seorang dokter di penjara
Departeman Pemerintahan daerah Kota Thurra. Thurra adalah sebuah kota kecil
yang berada di dekat Kota Kairo Mesir. Tidak ada info yang menjelaskan secara mendetail
tentang asal-usul dati Taufiq Shidqi, baik dari kelahirannya maupun latar belakang
pendidikannya.
Pemakalah hanya menemukan informasi tentang tahun kelahirannya
yaitu tahun 1881 M dan wafatnya tahun 1920 M. Dalam riwayat pendidikannya hanya
di beritakan bahwa ia adalah murid dari Rasyid Ridha.[2] Ia
melakukan studi tentang berbagai masalah teologi. Selain itu ia juga
mempelajari buku-buku apologetik. Yaitu buku yang membicarakan tentang cabang
ilmu teologi yang mempelajari tentang pembuktian dan mempertahankan ajaran
agama kristen.[3]
Pembacaannya tentang beberapa literatur mengenai polemik misionaris Kristen
yang dilihat dari perspektif Islam itu yang akhirnya melahirkan
keraguan-keraguan yang mempengaruhi paradigma pemikirannya.
Selain itu ia juga membaca tentang buku-buku yang berhubungan
tentang kedokteran, sehingga ia sedikita-banyak tahu tentang ilmu pengobatan
dan tentang kedokteran. Buku-buku yang ia baca tentang kedokteran itulah yang
mulai menimbulkan gejolak dalam dirinya. Dimana ia menkritisi hadist-hadist
yang berhubungan tentang pengobatan yang di anggapnya ganjil jika dilihat dari
pespektif ilmu kedokteran modern.[4]
Selain itu, pemakalah tidak menemukan info lebih lanjut mengenai biografi dan
latar belakang pendidikannya.
B.
Shidqi Sebagai Pembahas Pertama Hadist dalam Al-Manar
Pembahasan mengenai tokoh ini tidak luput dari kontribusinya dalam
menyumbangkan pemikirannya terhadap majalah Al-Manar yang karang oleh M. Rasyid
Ridha. Shidqi dikenal sebagai orang yang pertama kali menuliskan kritik
pemikirannya tentang hadist melaluli sebuah artikel dalam majalah Al-Manar
dengan judul yang sangat kontroversial yaitu “al-Islam Huwa al-Quran
Wahdahu” atau Ajaran agama Islam adalah Al-Quran itu sendiri.[5]
Melalui karya ini, Shidqi menyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan sunnah,
karena Al-Quran telah memberikan jawaban segala persoalan dalam kehidupan.
Menurutnya, semua orang Islam tidak ada yang meragukan otoritas nash
Al-Quran, berbeda dengan Hadist yang baru di tulis beberapa abad setelah Rasul
saw wafat.
Shidqi mengutip ayat Al-Quran dalam Surat Al-An’am:
... مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍ...
Artinya: “ ... Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab..”
Dan surat An-Nahl : 89
... وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ ...
Artinya:“...Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu...”
Lanjutnya, kalaupun Nabi saw memaksudkan sunnahnya sebagai satu
bagian dari agama yang merupakan sumber keagamaan yang fundamental bagi umat,
tentu Nabi saw akan memerintahkan untuk sunnahnya di tulis pada masa hidupnya,
dengan cara yang sama seperti yang dilakukan terhadap Al-Quran. Menurutnya ada sebagian orang yang beranggapan
bahwa penulisan hadist yang terjadi jauh pada masa kemudian disebabkan rasa
khawatir Nabi saw dan sahabat-sahabatnya bahwa jika Al-Quran dan sunnah ditulis
pada waktu yang sama maka akan terjadi kekacauan antara Al-Quran dan sunnah.
Namun bagi Shidqi hal itu tidak masuk akal. Baginya tidak ada makhuk hidup yang
dapat membuat sesuatu yang menyamai Al-Quran. Tidak mungkin terjadi kekacauan
antara satu ayat Al-Quran dengan yang lain, perbedaannya terlalu jelas.[6]
Bahkan Shidqi menambahkan dalam pendapatnya bahwa jumlah rekaat
dalam solat sudah dijelaskan dalam Al-Quran seperti dalam QS. An-Nisa’:101 yang
membicarakan tentang shalat khauf.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا ﴿١٠١﴾
Artinya: “Dan
apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qaşar salat,
jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh
yang nyata bagimu”.( An-Nisa'[4]:101)
Dalam bagian sebelum penutup Shidqi menambahkan bahwa tidaklah
pantas kalau Allah memberi umat-Nya satu sumber bimbingan keagamaan yang begitu
sulit untuk diketahui mana yang memiliki nilai dan mana yang tidak. Shidqi juga
tidak menerima ijma’(kesepakatan) para Ulama yang shaleh. Karena Ijma’
hanya absah untuk tempat dan waktu ketika kesepakatan itu dirumuskan. Sedangkan
kesepakatan generasi-generasi selanjutnya didasarkan pada taqlid, dan karena
itu dapat di tolak sepenuhnya.
C.
Perdebatan antara Shidqi dengan Ulama yang tidak Sependapat
dengannya
Pendapat-pendapat yang di keluarkan oleh Shidqi ini tentunya
menyita perhatian dari berbagai pihak, termasuk para ulama. Ulama-ulama
tersebut mencoba membantah pernyataan yang dikeluarkan oleh Shidqi. Bantahan
pertama datang dari Ahmad Mansur Al-Bazz dan Syaikh Thaha Al-Bisyri yang
menyatakan bahwa “meski Al-Quran memuat segala hal, namun sebagian besar yang
disinggungnya masih berupa tuntutan-tuntutan umum yang didalamnya masih
membutuhkan rincian lagi.” Kemudian setelah masa mereka muncullah ulama dari
Suriah yang bernama Mushthafa As-Siba’i. As-Siba’i inilah yang mepunyai
penjelasan yang lebih rinci tentang bantahannya terhadap Shidqi ketimbang Ahmad
Mansur Al-Bazz dan Syaikh Thaha Al-Bisyri.[7]
As-Siba’i mengutip dari Asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa istilah bayan
(atau tibyan, seagaimana yang digunakan Shidqi dari ayat Al-Quran Surah
An-Nahl[16] ayat 89) bermaksud menerangkan bahwa Al-Quran mungkin saja
memberikan ajaran-ajaran yang terinci, sehingga tidak diperlukan lagi
penjelasan tambahan. Namun Al-Quran juga mengandung ajaran-ajaran yang
kata-katanya disusun dalam istilah-istilah yang luas sehingga sangat diperlukan
keterangan untuk menjelaskan istilah-istilah tersebut. penjelasan tersebut
dapat ditemukan dalam sunnah Nabi saw. Seperti yang diperintah Allah kepada
manusia untuk mentaati Nabi-Nya. Dengan kata lain, Al-Quran dan Hadist Nabi saw
adalah Hujjah dan sunnah juga demikian, karena ketaatan kepada Nabi saw dalam
segala yang diperintahkannya ditekankan oleh Al-Quran.[8]
Ketiga pengkritik tadi ternyata belum memahami keinginan terdalam
dari Shidqi dalam melucuti nilai penting sunnah adalah untuk memberikan
hantaman mematikan kepada taqlid. Shidqi adalah orang yang progresif yang
mengakui adanya pengaruh yang bersifat mengekang yang ditimbulkan oleh berbagai
madzhab (yang menurut pandangannya sebagian besar didasarkan pada sunnah)
terhadap perkembangan spiritual kaum muslim yang berkeinginan untuk
menyesuaikan kehidupannya dengan zaman modern.[9]
Dalam jawabannya terhadap Al-Bazz dan Al-Bisyri, Shidqi mengakui
bahwa contoh keteladanan Nabi tentu saja jauh lebih mencerahkan dibandingkan dengan keterangan apa pun yang
disampaikan oleh kata-kata. Hal ini tidak berlaku ketika yang tengah
dipersoalkan adalah Al-Quran, Al-Quran senantiasa tidak tertandingi
keindahannya, dan juga kejelasan dan kefasihannya mengikuti keteladanan Nabi
saw adalah wajib bagi umat Islam, hanya jika Al-Quran memerintahkannya secara
eksplisit dan yang berada di luar ketentuan Al-Quran tidaklah wajib. Shidqi merumuskannya dalam ungkapan “Al-wajib
‘alal basyar la yakhruju ‘amma fi kitab Allah” (yang wajib bagi umat
manusia tidaklah diluar kitab Allah swt).[10]
Kemudian Shidqi mencoba membedakan perbedaan antara Al-Quran dan sunnah.
Al-Quran
|
Sunnah
|
§ Tidak dapat dipalsukan
§ Teksnya sudah ditegaskan keshahihannya secara mutawatir.
§ Ditulis selama masa hidup Nabi atas perintahnya.
§ Firman Allah yang meliputi segalanya.
|
§ Dapat dipalsukan
§ Hanya sebagian saja yang ditegaskan secara mutawatir
§ Nabi melarang penulisan sunnah
§ Sabda (akhlak dan prilaku) Nabi, berlaku hanya untuk generasi
Nabi saat itu.
|
Muhammad Rasyid Ridho juga membahas pernyataan tersebut dalam
keterangan tambahannya. Ridha menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah Rasul
Allah saw untuk bangsa Arab pada masa-masa itu saja. namun untuk semua
masyarakat di seluruh dunia hingga datangnya hari kiamat. Ridha memaparkan
lebih lanjut bahwa upaya Shidqi untuk mengetahui seluruh ajaran tentang shalat
dari ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan tentan shalat al-khauf,
menemui kegagalan. Menurutnya shalat al-khauf adalah sebuah
pengecualian. Orang tidak dapat menemukan semua ajaran tentang kewajiban ritual
yang luas seperti shalat dari suatu pengecualian. Walaupun didalam al-Quran
tidak ada ayat yang menyatakan secara tegas bahwa shalat fardu itu ada lima,
tetapi kita semua tahu selama berabad-abad bahwa shalat fardhu itu ada lima. Andaikan
kita pada masa sekarang ini ada keraguan tentang ajaran shalat. Maka kita juga
dapat mulai meraguka persepsi (tanggapan) panca indera kita, kata Ridha.[11]
Sependapat dengan As-Siba’i, Ridha menunjukan dalam pemikirannya
bahwa Allah swt telah memerintahkan umat manusia untuk mentaati Nabi-Nya dalam
segala sesuatu dan untuk mengikuti keteladanan Nabi saw.
Surah 33: 21 dan 2: 151
قَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا ﴿٢١﴾
Artinya : “Sungguh,
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang
banyak mengingat Allah”. (al-'Ahzab[33]:21)[12]
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ ﴿١٥١﴾
Artinya: “Sebagaimana
Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab
(Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui”. (Al-Baqarah[2]:151)
Ridha menafsirkan ayat ini sebagai berikut: nabi Muhammad telah
mengajarkan kearifan (hikmah) yang dibawa oleh Al-Quran, dan Nabi saw
menyucikan umat manusia melalui
sunnahnya.
Ridha juga mengingatkan muridnya tersebut bahwa istilah-istilah
yang dipakai Shidqi terlalu fulgar dan berani. Padahal apa yang ingin di
ungkapkan oleh Shidqi adalah bahwa Hadist yang mutawatir itulah yang yaqin,
sedangkan hadist yang ahad adalah yang dzann dan tidak harus dipercayai.
Pada akhirnya Shidqi menerima sepenuhnya argumen-argumen dari sang guru
tersebut dan mengakui segala kesalahan dan kekeliruannya mengenai persoalan-persoalan
di atas.[13]
D.
Sunnah Qauliyyah dan ‘Amaliyyah menurut Shidqi
Pendangan lain yang disampaikan oleh Shidqi adalah tentang definisi
dari sunnah qauliyyah dan ‘amaliyyah. Dia menganut
pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Ridha. Walaupun pada akhirnya Shidqi
mau menerima hadist sebagai sumber agama setelah Al-Quran, ia masih bersikap
ketat dan selektif. Hal ini dikarenakan bangunan-bangunan sunnah qauliyyah
yang sangat rentang diserang. Ia menunjukan bahwa banyak sekali legenda dari
agama-agama lain atau Israiliyat yang berhasil masuk ke dalam
himpunan-himpunan hadist qauliyyah tersebut.[14]
Shidqi menambahkan mungkin para ulama yang meneliti para rawi dalam
isnad mungkin telah terkecoh. Banyak sabda-sabda yang dibuat orang
karena terdorong oleh motif-motif keagamaan. Sering kali perawi terbawa oleh
kesukaan mereka untuk melebih-lebihkan keinginannya pada hal-hal yang aneh dan
menakjubkan. Sehingga pernyataan-pernyataan tersebut di tulis dan dianggap dari
Nabi saw. Padahal sangat sedikit yang betul-betul berasal dari Rosulullah saw.
Menurutnya, bagian dari literatur hadist
patut mendapatkan tingkatan mutawatir itu sangat sedikit dan tidak pernah
berisikan ajaran-ajaran tentang hukum. Misalnya hadist:
Artinya: “... Begitulah
memang yang diturunkan. Sesungguhnya Al Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf..”
Artinya: “...Dan barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah
ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka."
Tentang hadist-hadist yang diriwayatkan oleh imam-imam
hadist seperti imam Bukhari, Shidqi menyatakan bahwa tidakalah masuk akal kalau
beranggapan bahwa Bukhari tidak pernah keliru ketika ia menyaring 4.000 hadist shahih dalam kitab shahih-nya dari
600.000 hadist yang berhasil dihimpunnya selama bertahun-tahun. Shidqi tidak
menyangkal tentang hadist-hadist jenis ini dapat bermaanfaat untuk memecahkan
problem-problem dalam bidang-bidang sejarah, bahasa, literatur, dan tafsir
Al-Quran. Namun sebagai pembimbing prinsip yang umum, dia tidak menerimanya
karena secara kontekstual tidak dapat di percaya.
E.
Aplikasi Metodologi Pemahaman Terhadap Hadist-Hadist Musykil
oleh Shidqi
Menurut Shidqi ada beberapa hadist yang berada pada kitab shahih
yang menimbulkan keraguan dalam otentisitas tekstualnya. Hadist-hadist ini
terasa sangat janggal,ganjil, atau bahkan aneh bila dilihat dari perspektif
ilmu pengetahuan modern. Padahal hadist-hadist tersebut sering dijumpai dalam
kitab-kitab shahih terutama kitab shahihain (Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim). Kitab-kitab sudah di akui keshahihannya dan dijadikan pedoman
bagi umat Islam.[17]
Beberapa hal di atas mendorong para ulama untuk melakukan berbagai
penelitian dan tinjauan lebih lanjut. Ulama tersebut salah satunya adalah
Shidqi. Ia berkesimpulan bahwa beberapa hadist ada yang bertentangan dengan
ilmu-ilmu pengetahuan modern.
Seperti
dalam hadist :
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ
جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً...[18]
Artinya: "Apabila seekor lalat hinggap di tempat minum
salah seorang dari kalian, hendaknya ia mencelupkan ke dalam minuman tersebut,
kemudian membuangnya, karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan
pada sayap lainnya terdapat penawarnya."
Shidqi mengaku merasa sulit memahami hadist tentang
lalat tersebut. dia tidak dapat menggunakan ta’wil, dan menurutnya hadist
tersebut bertentangan hadist lain yang berbunyi: “Pada suatu ketika Nabi saw
ditanya apa yang harus dilakukan bila seekor tikus jatuh ke dalam mentega?,”
Nabi saw bersabda : “bila menteganya padat, buanglah tikus itu, dan sisanya
dapat kamu makan. Akan tetapi jika menteganya cair, buanglah menteganya dan
janganlah disentuh.”[19]
Mengingat tikus dan lalat sangat berbahaya bagi
manusia, maka sangat sulit sekali untuk mempercayainya bahwa perkataan seperti
ini disabdakan oleh Nabi saw. Lanjutnya bagaimanapun juga, umat Islam tidak
perlu hidup dengan berpedoman pada hadist-hadist ahad, khususnya yang berkenaan
dengan persoalan duniawi.[20]
Itulah kesimpulan yang di ambil oleh Shidqi dan ia menegaskannya dengan
mengutip sebuah hadist Nabi saw yang berbunyi “Aku hanyalah manusia, apa yang
aku katakan padamu mengenai Allah swt adalah benar. Dan apa yang aku katakan
padamu atas upaya diriku sendiri, maka ingatlah bahwa diriku hanyalah manusia,
akau bisa saja benar dan bisa saja keliru.”[21]
Shidqi kemudian melanjutkan bahwa hadist ini dapat
dikesampingkan, mengingat yang meriwayatkannya adalah Abu Hurairah. Ia
menyeleksi Hadist negatif sari sumber-sumber negatif. Ia menderita epilepsi
yang mempengaruhi otaknya.
F.
Analisis
Taufiq
Shidqi adalah seorang yang berfikir progresif dan mempunyai pemikiran yang
rasional serta mempunyai pandangan ke depan. Kecintaannya pada masalah-masalah
teologi membuatnya menjadi pengkritik hadist dan bahkan digolongkan kepada
golongan yang inkar sunnah. Hal ini di sandarkan kepada pendapat-pendapat
beliau yang menginkari sunnah Nabi saw.
Walaupun
pada akhirnya Shidqi mengakui keberadaan sunnah sebagai sumber ajaran Islam, tetapi
pemikirannya sempat membuat kaget para ulama Islam. Secara keseluruhan, Shidqi
adalah seorang murid dari Rasyid Ridha yang kritis. Menurut pemakalah ada
beberapa hal yang menarik tentang Shidqi diantaranya adalah:
1.
Taufiq
Shidqi adalah orang yang berfikiran logis-kritis. Jadi hal-hal tentang agama
khususnya hadist dilihatnya dari segi realita kehidupan kekinian.
2.
Menurut
pemakalah, ketika Shidqi mengkritiki suatu hadist ia tidak menyinggung tentang
keberadaan asbabul wurud dari hadist tersebut.
3.
Selain
itu Shidqi juga tidak konsinten dengan pendapatnya. Awalnya ia seolah-olah
menolak hadist secara keseluruhan. Tetapi pada akhirnya ia mengaku keberadaan
hadist walaupunterbatas kepada hadist-hadist yang mutawatir.
Terlepas
dari berbagai penilain terhadap Shidqi, keberadaan Shidqi telah membuat cambuk
terhadap studi keIslaman. Pemikiannya memotivasi kita untuk terus mendalami
ajaran Islam, dan kita tidak menerima serta merta keputusan ulama terdahulu
mengenai ajaran Islam. tetapi kita juga harus mencari tahu kebenaran dan
kontekstuali pernyataan tersebut untuk kehidupan sekarang. Itulah sedikit
penilaian terhadap Shidqi yang menurut pemakalah menarik untuk dikemukakan.
G.
Tanggapan terhadap penulis buku: Asep Setiawan
Menurut
pemakalah dalam tulisan yang disusun oleh Setiawan ini bagus untuk dijadikan
referensi dalam memahami pemikiran dari tokoh Taufiq Shidqi. Dalam kepenulisan
yang berjumlah sekitar 17 halam ini, Setiawan bisa memaparkan peta pemikiran
dan gejolak pendapat yang menanggapi pemkiran Shidqi. Namun tetap saja dalam
sebuah tulisan tentunya ada kekurangan dan kelebihannya.
Kelebihan dari tulisan Setiawan ini secara keseluruhan sudah
sedikit disinggung di atas. Untuk kekurangannya ada pont yang ditemukan oleh
pemakalah. Diantaranya adalah:
1.
Pembahasan
mengenai biografi dan latar belakang pendidikan dari Taufiq Shidqi kurang lebih
diuraikan. (walaupun pemakalah sendiri mengalami kesulitan dalam mencari sumber
yang berhubungan biografi dan latar belakang pendidikan dari tokoh tersebut).
2.
Dalam
tulisannya, Setiawan tidak memberikan penilaian yang panjang tentang tokoh. Ia
hanya memberikan sedikit kritik yang tujukan untuk si tokoh. Jadi pemakalah
belum bisa melihat bagaimana pendapat Setiawan terhadap tokoh.
Mungkin itu hal yang pemakalah dapatkan mengenai tulisan dari Asep
Setiawan ini. Tetapi secara keseluran kita patut apresiasi terhadapnya. Karena
berkat tulisannya kita bsa belajar lebih mudah untuk mengenal lebih jauh
tentang tokoh Taufiq Shidqi.
BAB III
PENUTUP
Taufiq Shidqi adalah seorang dokter yang lahir di kota Turrah. Ia
mempunyai pemikiran yang menolak tentang keberadaan sunnah. Ia berguru kepada
Rasyid Ridha, dan banyak dari pemikirannya yang dipengaruhi oleh
pendapat-pendapat dari gurunya. Sebenarnya Shidqi juga mempunyai pandangan yang
sama dengan gurunya, namun Shidqi mengambil pandangan yang terlalu jauh.
Sehingga menjadikannya “kebablasan” dalam mengambil suatu pendapat.
Pemikiran-pemikiran Shidqi sempat menghebohka dunia Islam,
khususnya para Ulama. Sehingga para ulamapun banyak yang memberikan tanggapan
terhadap pemikiran Shidqi. Diantaranya adalah ulama yang bernama Ahmad Mansur
Al-Bazz, Syaikh Thaha Al-Bisryi dan Mustafa Asy-Syiba’i. Bahkan bantahan
pendapat Shidqi juga muncul dari gurunya sendiri yaitu Rasyid Ridha.
Dalam akhir argumennya, Shidqi akhirnya mau mengakui keberadaan
sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Quran, walaupun ia masih sangat
selektif dalam memilih hadist. Shidqi mewarnai pemikiran di studi Islam
khususnya dalam Studi Hadist. Pemikiran yang ia berikan memeberikan kita cambuk
untuk terus menggali dan belajar lebih serius lagi tentang Islam dan khususnya
tentang Hadist.
Referensi
Tim Mahasiswa Jurusan TH-Khusus angkatan ’07 UIN SUNAN Kalijaga
Yogyakarta. Yang Membela dan Yang Menggugat. Yogyakarta: CSS SUKA Press.
2012
G.H.A.
Juynboll. Kontroversi Hadist di Mesir. Bandung: Mizan. 1999
Husnan,
Ahmad. Gerakan Ingkar As-Sunnah dan Jawabannya. Jakarta: Media Dakwah
Software
Maktabah tsamilah
Sofware
Al-Quran al-Hadi
[1] Ada 3 pendapat
mengenai aliran ini yaitu: inkaru sunnah secara muthlaq, inkaru ba’di
(sebagian) sunnah, inkaru sunnah bighairi thariqi manqul. Lihat Ahmad
Husnan, Gerakan Inkaru Sunnah dan Jawabannya, (Jakarta: Media Dakwah) hlm. 6
[2] Menurut
pemakalah dari Gurunya inilah ia mendapatkan insprasi pemikiran tentang teologi
dan berbagai hal yang berhubungan dengan agama selain dari buku-buku yang ia
baca.
[3] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus angkatan ’07 UIN SUNAN Kalijaga Yogyakarta, Yang Membela
dan Yang Menggugat, (Yogyakarta: CSS SUKA Press, 2012) hlm. 67
[4] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 68
[5] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 68
[6] G.H.A.
Juynboll, Kontroversi Hadist di Mesir, (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 34
[7] G.H.A.
Juynboll, Kontroversi Hadist di Mesir,,, hlm. 35
[8] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 72
[9] G.H.A.
Juynboll, Kontroversi Hadist di Mesir,,, hlm. 36
[10] G.H.A.
Juynboll, Kontroversi Hadist di Mesir,,, hlm. 37
[11] G.H.A.
Juynboll, Kontroversi Hadist di Mesir,,, hlm. 38
[12] Software
Al-Quran Hadi
[13] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 75
[14] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 75
[15] Hadist
lengkapnya terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari 2241 (Software Maktabah
tsamilah)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ
حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا وَكِدْتُ أَنْ
أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ
بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا
فَقَالَ لِي أَرْسِلْهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ قَالَ هَكَذَا
أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ
الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ
[16] Hadist
lengkapnya terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari 107 (Software Maktabah tsamilah)
حَدَّثَنَا مُوسَى قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي
حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَسَمَّوْا بِاسْمِي وَلَا تَكْتَنُوا
بِكُنْيَتِي وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا
يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
[17] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 78
[18] Hadist
lengkapnya terdapat dalam kitab Shahih Bukhari No. 5336 (Software maktabah
tsamilah)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ
عُتْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ مَوْلَى بَنِي تَيْمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ حُنَيْنٍ مَوْلَى
بَنِي زُرَيْقٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي
إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ
جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً
[19] G.H.A.
Juynboll, Kontroversi Hadist di Mesir,,, hlm. 205-206
[20] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 79
[21] Tim Mahasiswa
Jurusan TH-Khusus,,, hlm. 80
The Rundown Of Casinos In Las Vegas | Dr.CMD
BalasHapusIn addition to the vast array of casinos in Las Vegas, 성남 출장안마 Harrah's 대구광역 출장샵 is located on 전라북도 출장샵 the 안양 출장마사지 Fremont Street Experience 천안 출장샵 and the adjacent Gold Strike Casino