Rabu, 23 Oktober 2013

Syah Waliyullah al-Dihlawi (1703-1762) “Pakar Hadis Terkemuka Dari Delhi”


Syah Waliyullah al-Dihlawi (1703-1762)
“Pakar Hadis Terkemuka Dari Delhi”

A.    Tentang Syah Waliyullah al-Dihlawi
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad ibn al-Syahid ibn Muazzam ibn Mansur ibn Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al-Din, dan lebih dikenal dengan sebutan Syah Waliyullah al-Dihlawi. Ia lahir pada hari Rabu, 4 Syawal 1214/21 Februari 1703 di Delhi. Ia adalah anak pertama dari perkawinan ayahnya yang kedua pada usia 60 tahun. Ayahnya adalah seorang pengamal tariqat Naqsabandiyah Chistiyah, dan Qadiriyah.
Gelar Syah menandakan bahwa ia berasal dari kalangan keluarga terhormat. Sedangkan gelar Waliyullah terdapat cerita mistik tentangnya. Yakni bahwa ayahnya, ‘Abd al-Mun’im al-Namir (w.1719), berulang kali menerima pemberitahuan gaib lewat mimpi bahwa ia akan mendapatkan seorang putra yang alim. Beberapa wali terkemuka semisal Qutb al-Din al-Bakhtiar Ka’ki menyuruhnya menamai anaknya yang akan lahir nanti dengan nama Waliyullah.
Pada usianya yang ketujuh, ketika ia untuk pertama kalinya khatam al-Qur’an, ia sudah bisa membaca risalah-risalah bahasa persia. Al-Dihlawi menikah di usia yang sangat dini, yaitu 14 tahun atas desakan ayahnya. Ia masuk thariqat Naqsabandiyah saat berumur 15 tahun dibawah bimbingan ayahnya. Ia memiliki 2 orang istri serta mendapatkan seorang putra bernama Syah Muhammad dan seorang putri bernama ‘Ammat al-Aziz dari istri pertamanya, dan empat orang putra bernama Syah ‘Abd al-‘Aziz Muhaddith Dehlavi, Syah Rafi’ al-Din, Syah ‘Abd al-Qadir, dan Syah ‘Abd al-Ghani dan seorang putri dari istri keduanya. Melalui merekalah ajarannya tersebar ke sebagian besar wilayah India. Ia wafat 20 Agustus 1762 dalam usia 59 tahun.
Al-Dihlawi berangkat menunaikan ibadah Haji di bulan April 1731 M/1143 H. Ia lantas menetap di Makkah selama 14 bulan dan kembali ke Delhi pada Desember 1732 M. Terdapat praduga-praduga mengebai tingggalnya Syah Waliyullah di Hijaz setelah haji. Ada yang berpendapat bahwa ia lebih dulu menetap di Hijaz karena ingin memperluas ilmunya. Namun, menurut M. Mujeeb tindakannya ini dikarenakan al-Dihlawi ingin menghindari reaksi dari ulama konservatif yang tidak setuju terhadap perbuatannya yang telah menterjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Persia. Karena menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa lain adalah tindakan yang sangat berani pada saat itu.
Kehidupannya di Hijaz tentu saja mempengaruhi cara berpikirnya dalam permasalahan hadis, fiqh, dan tasawuf. Guru-gurunya di Makkah memperkenalkan kosmopolitanisme ilmu hadis yang mulai berkembang dengan pesat pada abad 18, seiring terjadinya percampuran berbagai tradisi kajian dan metode pengujian hadis yang berbeda-beda. Saat di Makkah, ia memberikan perhatian khusus pada kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan nantinya ia menulis dua buah buku tentang ulasannya dengan judul Musawa dan Mushaffa.
Zafrul Islam Khan dalam pendahuluan al-Ishnaf berkata terdapat lebih dari 100 kitab yang telah ditulis oleh al-Dihlawi, baik berbahasa Persia maupun Arab. Karyanya yang terlengkap adalah Hujjatullah al-Balighah dan al-Budur al-Bazighah. Namun, kitab yang disebut kedua lebih memasukkan gagasan filsafat mistik dan tidak banyak mengupas hadis.

B.     Pemikiran al-Dihlawi Tentang Sunnah
1.      Klasifikasi Sunnah
Al-Dihlawi membagi sunnah menjadi dua, yaitu: pertama, sunnah disampaikan Nabi saw. sebagai pembawa risalah dalam kapasitasnya sebagai ‘utusan Allah”, dan kedua sunnah disampaikan bukan dalam kapasitas Nabi saw. sebagai pembawa risalah.
2.      Tentang Metode Masyarakat dalam Menerima Syariat Allah Melalui Nabi Muhammad
Al-Dihlawi juga membagi metode masyarakat dalam menerima syariat Ilahi kedalam dua bagian, yaitu:
Pertama, melalui jalur periwayat mutawatir atau tidak mutawatir. Untuk riwayat mutawatir terdapat mutawatir ma’nawi dan mutawatir lafdzi. mutawatir lafdzi contohnya adalah al-Qur’an dan sebagian kecl hadis Nabi saw. sedangkan mutawatir ma’nawi seperti aturan-aturan bersuci, shalat, puasa, zakat, pernikahan, jual-beli, dan lain sebagainya.
Kedua, melalui petunjuk dari sahabat yang melihat perlaku Nabi saw. kemudian mereka mengambilnya sebagai dalil-dalil hukum wajib, sunnah, makruh, mubbah, dan haram. Kekurangan metode ini adalah terlibatnya ijtihad para sahabat, tabi’in, dan lainnya dengan deduksi hukum yang mereka ambil dari al-Qur’an dan hadis, sedangkan mereka tidak selalu benar.
3.      Tingkat Kitab Hadis Menurut al-Dihlawi
Dalam kitabnya, Hujjatullah al-Balighah, al-Dihlawi mengatakan bahwa pada saat ini satu-satunya cara untuk menerima riwayat mutawatir adalah mengikuti kitab-kitab hadis, sebab tidak ada riwayat yang dipercayakan kecuali telah dituliskan. Berbeda dengan masalah kemaslahatan bisa diketahui melalui pengalaman, pemikiran yang benar dan perkiraan. Kemudian ia juga membagi kitab hadis berdasarkan validitasnya.
Yang mengherankan adalah al-Dihlawi memasukkan kitab Imam Malik sejajar dengan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, padahal kitab ini tidak masuk dalam al-Kutub al-Sittah meskipun ia tergolong al-Kutub al-Tis’ah. Hal ini karena menurutnya, al-Muwaththa’ merupakan bekal pokok bagi madzab Maliki, pegangan Syafi’i dan Ahmad, serta pelita bagi Abu Hanifah. Hubungan madzab-madzabini dengan al-Muwaththa’ tak ubahnya hubungan matan dengan kitab syarahnya.
Al-Dihlawi juga menyertakan pendapat yang menyatakan bahwa di dalam kitab Imam Maliki tidak ada hadis yang terputus sebelum sampai kepada Nabi saw. Sehingga seluruh hadis di dalamnya dianggap shahih.
4.      Metode al-Dihlawi dalam Mengambil Keputusan di antara Hadis-Hadis yang Berbeda
Masih dalam kitabnya, Hujjatullah al-Balighah, Syah Waliyullah juga menjelaskan cara-cara yang perlu kita lakukan dalam menghadapi perbedaan diantara hadis-hadis Nabi saw. Meskipun pada hakikatnya tidak mungkin ada pertentangan mengenai hadis-hadis itu kecuali dari sudut pandang kita.
Al-Dihlawi juga menggunakan metode yang sama, yakni pertama mendamaikan dua hadis yang saling bertentangan untuk menjelaskan satu sama lain yang kita kenal dengan al-jam’u. Kemudian jika terdapat bukti pembatalan terhadap suatu hadis (nasikh-mansukh), maka pembatalan itu harus diberlakukan. Ia juga menambahkan bahwa pembatalan dapat diketahui melalui sabda Nabi saw. atau dengan mengetahui hadis yang lebih akhir datangnya dibanding yang lain.
Setelah itu jika hadis-hadis yang bertentangan tidak dapat didamaikan, ataupun dibatalkan, maka kedua hadis tersebut tetap dianggap bertentangan, dan langkah berikutnya adalah memilih salah satu dari hadis itu (tarjih), baik dengan meneliti kualitas sanadnya (jumlah perawi pada setiap level sanad, intuisi hukum perawinya, kekuatan mata rantai sanad kepada Nabi saw., keterlibatan rawi terhadap masalah tersebut), atau dengan meneliti kekuatan matannya (ketegasan dan jelasannya, meneliti kesesuaian hukum), atau dengan melihat faktor dari luar misalnya, hadis tersebut diterima oleh banyak orang yang berilmu. Begitulah kita memilih satu hadis diantara dua atau beberapa hadis yang bertentangan. Namun, jika kita tetap tidak dapat menemukan melalui semua cara yang disebutkan diatas, maka menurut al-Dihlawi sesungguhnya hadis-hadis tersebut tidak memiliki kekuatan, dan fenomena seperti ini sangat jarang ditemukan.
Ia juga menyebutkan apabila terjadi perbedaan riwayat para sahabat dan tabi’in, dan perbedaan-perbedaan itu mudah untuk disatukan dengan cara-cara diatas, maka itu jalan yang terbaik. Jika tidak, maka akan terdapat dua atau beberapa pendapat mengenai suatu masalah dan harus diteliti mana yang paling benar.

C.    Respon Umat Islam terhadap Pemikiran Hadis al-Dihlawi
Dalam menyikapi pemikiran Syah Waliyullah al-Dihlawi dalam memahami hadis Nabi saw., umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: pertama, kelompok yang ingin menjadikan seluruh hadis sebagai hukum yang harus diikuti. Kelompok inilah yang kurang sepakat dengan pemikiran Syah Waliyullah.
Kedua, adalah mereka yang sepakat dengan pemikiran al-Dihlawi karena menganggap pemikirannya sangat moderat. Ketiga, kelompok yang mengasingkan sunnah dari seluruh persoalan praktis kehidupan
Syah Waliyullah al-Dihlawi adalah pemikir yang sangat tanggap terhadap berbagai krisis yang terjadi pada masanya dengan selalu menampilkan sikap moderat dan selalu berusaha mencari jiwa atau hikmah dalam berbagai perintah yang disampaikan melalui hadis-hadis Nabi saw. dan firman Allah SWT. Itulah yang dikatakan oleh Fazlur Rahman sebagai bukti kekagumannya terhadap Syah Waliyullah. Namun, kita tahu disetiap pemikiran manusia pasti ada calahnya, dan yang perlu dipahami pula adalah bahwa hal tersebut bukanlah merupakan suatu kesalahan. Itu hal biasa yang membuktikan bahwa manusia sungguh tidak berdaya dan tidak ada daya dan upaya kecuali milik Allah SWT.
Di dalam kitabnya al-Dihlawi menyebutkan bahwa kesepakatan sebagian sahabat bukan merupakan salah satu sumber syariat didasarkan pada hadis Nabi saw. riwayat Tirmidzi. Al-Dihlawi membedakan kredibilitas sahabat (meskipun kenyataannya memang tidak sama) dan membatasi hanya kepada Khulafa’ al-Rasyidin.

D.    Kesimpulan
-          Klasifikasi sunnah yang membedakan sunnah disampaikan Nabi saw. sebagai pembawa risalah dan yang disampaikan Nabi saw. bukan sebagai pembawa risalah.
-          Metode masyarakat dalam menerima syariat Ilahi dari Nabi saw., yang terbagi menjadi dua, yakni diterima melalui jalur periwayatan baik yang disampaikan sejak awal oleh banyak perawi yang berkesinambungan (mutawatir) ataupun yang tidak. Kemudian dengan cara melalui petunjuk, yakni bahwa para sahabat melihat Nabi saw. mengucapkan dan melakukan sesuatu
-          Al-Dihlawi mencoba menyusun urutan kitab hadis berdasarkan validitasnya. Dan yang mengherankan ia menyebutkan kitab al-Muwaththa’ setara dengan kitab Bukhari dan Muslim

-          Cara ia mengatasi perbedaan diantara hadis-hadis Nabi saw. dalam hal ini pendapat ia dapat dikatakan sama dengan mayoritas ulama hadis, yang lebih jelasnya dapat dilihat kembali dalam pemaparan diatas

1 komentar:

  1. terlalu banyak animasi.
    animasinya juga alay banget jadi nutupin halamanya

    BalasHapus