Syah Waliyullah al-Dihlawi (1703-1762)
“Pakar Hadis Terkemuka Dari Delhi”
A.
Tentang Syah Waliyullah al-Dihlawi
Nama
lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad ibn al-Syahid ibn Muazzam ibn Mansur ibn
Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al-Din, dan lebih dikenal dengan sebutan Syah
Waliyullah al-Dihlawi. Ia lahir pada hari Rabu, 4 Syawal 1214/21 Februari 1703
di Delhi. Ia adalah anak pertama dari perkawinan ayahnya yang kedua pada usia
60 tahun. Ayahnya adalah seorang pengamal tariqat Naqsabandiyah Chistiyah,
dan Qadiriyah.
Gelar
Syah menandakan bahwa ia berasal dari kalangan keluarga terhormat. Sedangkan
gelar Waliyullah terdapat cerita mistik tentangnya. Yakni bahwa ayahnya, ‘Abd
al-Mun’im al-Namir (w.1719), berulang kali menerima pemberitahuan gaib lewat
mimpi bahwa ia akan mendapatkan seorang putra yang alim. Beberapa wali
terkemuka semisal Qutb al-Din al-Bakhtiar Ka’ki menyuruhnya menamai anaknya
yang akan lahir nanti dengan nama Waliyullah.
Pada
usianya yang ketujuh, ketika ia untuk pertama kalinya khatam al-Qur’an, ia
sudah bisa membaca risalah-risalah bahasa persia. Al-Dihlawi menikah di usia
yang sangat dini, yaitu 14 tahun atas desakan ayahnya. Ia masuk thariqat
Naqsabandiyah saat berumur 15 tahun dibawah bimbingan ayahnya. Ia memiliki 2
orang istri serta mendapatkan seorang putra bernama Syah Muhammad dan seorang
putri bernama ‘Ammat al-Aziz dari istri pertamanya, dan empat orang putra
bernama Syah ‘Abd al-‘Aziz Muhaddith Dehlavi, Syah Rafi’ al-Din, Syah ‘Abd
al-Qadir, dan Syah ‘Abd al-Ghani dan seorang putri dari istri keduanya. Melalui
merekalah ajarannya tersebar ke sebagian besar wilayah India. Ia wafat 20 Agustus
1762 dalam usia 59 tahun.
Al-Dihlawi
berangkat menunaikan ibadah Haji di bulan April 1731 M/1143 H. Ia lantas
menetap di Makkah selama 14 bulan dan kembali ke Delhi pada Desember 1732 M.
Terdapat praduga-praduga mengebai tingggalnya Syah Waliyullah di Hijaz setelah
haji. Ada yang berpendapat bahwa ia lebih dulu menetap di Hijaz karena ingin
memperluas ilmunya. Namun, menurut M. Mujeeb tindakannya ini dikarenakan
al-Dihlawi ingin menghindari reaksi dari ulama konservatif yang tidak setuju
terhadap perbuatannya yang telah menterjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa
Persia. Karena menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa lain adalah tindakan
yang sangat berani pada saat itu.
Kehidupannya
di Hijaz tentu saja mempengaruhi cara berpikirnya dalam permasalahan hadis,
fiqh, dan tasawuf. Guru-gurunya di Makkah memperkenalkan kosmopolitanisme ilmu
hadis yang mulai berkembang dengan pesat pada abad 18, seiring terjadinya
percampuran berbagai tradisi kajian dan metode pengujian hadis yang
berbeda-beda. Saat di Makkah, ia memberikan perhatian khusus pada kitab al-Muwatta’
karangan Imam Malik dan nantinya ia menulis dua buah buku tentang ulasannya
dengan judul Musawa dan Mushaffa.
Zafrul Islam
Khan dalam pendahuluan al-Ishnaf berkata terdapat lebih dari 100 kitab
yang telah ditulis oleh al-Dihlawi, baik berbahasa Persia maupun Arab. Karyanya
yang terlengkap adalah Hujjatullah al-Balighah dan al-Budur
al-Bazighah. Namun, kitab yang disebut kedua lebih memasukkan gagasan
filsafat mistik dan tidak banyak mengupas hadis.
B.
Pemikiran al-Dihlawi Tentang
Sunnah
1.
Klasifikasi Sunnah
Al-Dihlawi
membagi sunnah menjadi dua, yaitu: pertama, sunnah disampaikan Nabi saw.
sebagai pembawa risalah dalam kapasitasnya sebagai ‘utusan Allah”, dan kedua
sunnah disampaikan bukan dalam kapasitas Nabi saw. sebagai pembawa risalah.
2.
Tentang Metode Masyarakat dalam
Menerima Syariat Allah Melalui Nabi Muhammad
Al-Dihlawi juga membagi metode
masyarakat dalam menerima syariat Ilahi kedalam dua bagian, yaitu:
Pertama,
melalui jalur periwayat mutawatir atau tidak mutawatir. Untuk riwayat mutawatir
terdapat mutawatir ma’nawi dan mutawatir lafdzi. mutawatir lafdzi
contohnya adalah al-Qur’an dan sebagian kecl hadis Nabi saw. sedangkan mutawatir
ma’nawi seperti aturan-aturan bersuci, shalat, puasa, zakat, pernikahan,
jual-beli, dan lain sebagainya.
Kedua,
melalui petunjuk dari sahabat yang melihat perlaku Nabi saw. kemudian mereka
mengambilnya sebagai dalil-dalil hukum wajib, sunnah, makruh, mubbah, dan
haram. Kekurangan metode ini adalah terlibatnya ijtihad para sahabat, tabi’in,
dan lainnya dengan deduksi hukum yang mereka ambil dari al-Qur’an dan hadis,
sedangkan mereka tidak selalu benar.
3.
Tingkat Kitab Hadis Menurut
al-Dihlawi
Dalam
kitabnya, Hujjatullah al-Balighah, al-Dihlawi mengatakan bahwa pada saat
ini satu-satunya cara untuk menerima riwayat mutawatir adalah mengikuti
kitab-kitab hadis, sebab tidak ada riwayat yang dipercayakan kecuali telah
dituliskan. Berbeda dengan masalah kemaslahatan bisa diketahui melalui
pengalaman, pemikiran yang benar dan perkiraan. Kemudian ia juga membagi kitab
hadis berdasarkan validitasnya.
Yang
mengherankan adalah al-Dihlawi memasukkan kitab Imam Malik sejajar dengan Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim, padahal kitab ini tidak masuk dalam al-Kutub
al-Sittah meskipun ia tergolong al-Kutub al-Tis’ah. Hal ini karena
menurutnya, al-Muwaththa’ merupakan bekal pokok bagi madzab Maliki,
pegangan Syafi’i dan Ahmad, serta pelita bagi Abu Hanifah. Hubungan
madzab-madzabini dengan al-Muwaththa’ tak ubahnya hubungan matan dengan
kitab syarahnya.
Al-Dihlawi
juga menyertakan pendapat yang menyatakan bahwa di dalam kitab Imam Maliki
tidak ada hadis yang terputus sebelum sampai kepada Nabi saw. Sehingga seluruh
hadis di dalamnya dianggap shahih.
4.
Metode al-Dihlawi dalam Mengambil
Keputusan di antara Hadis-Hadis yang Berbeda
Masih
dalam kitabnya, Hujjatullah al-Balighah, Syah Waliyullah juga menjelaskan
cara-cara yang perlu kita lakukan dalam menghadapi perbedaan diantara
hadis-hadis Nabi saw. Meskipun pada hakikatnya tidak mungkin ada pertentangan
mengenai hadis-hadis itu kecuali dari sudut pandang kita.
Al-Dihlawi
juga menggunakan metode yang sama, yakni pertama mendamaikan dua hadis yang
saling bertentangan untuk menjelaskan satu sama lain yang kita kenal dengan
al-jam’u. Kemudian jika terdapat bukti pembatalan terhadap suatu hadis
(nasikh-mansukh), maka pembatalan itu harus diberlakukan. Ia juga menambahkan
bahwa pembatalan dapat diketahui melalui sabda Nabi saw. atau dengan mengetahui
hadis yang lebih akhir datangnya dibanding yang lain.
Setelah
itu jika hadis-hadis yang bertentangan tidak dapat didamaikan, ataupun
dibatalkan, maka kedua hadis tersebut tetap dianggap bertentangan, dan langkah
berikutnya adalah memilih salah satu dari hadis itu (tarjih), baik dengan
meneliti kualitas sanadnya (jumlah perawi pada setiap level sanad, intuisi
hukum perawinya, kekuatan mata rantai sanad kepada Nabi saw., keterlibatan rawi
terhadap masalah tersebut), atau dengan meneliti kekuatan matannya (ketegasan
dan jelasannya, meneliti kesesuaian hukum), atau dengan melihat faktor dari
luar misalnya, hadis tersebut diterima oleh banyak orang yang berilmu. Begitulah
kita memilih satu hadis diantara dua atau beberapa hadis yang bertentangan.
Namun, jika kita tetap tidak dapat menemukan melalui semua cara yang disebutkan
diatas, maka menurut al-Dihlawi sesungguhnya hadis-hadis tersebut tidak
memiliki kekuatan, dan fenomena seperti ini sangat jarang ditemukan.
Ia juga menyebutkan
apabila terjadi perbedaan riwayat para sahabat dan tabi’in, dan
perbedaan-perbedaan itu mudah untuk disatukan dengan cara-cara diatas, maka itu
jalan yang terbaik. Jika tidak, maka akan terdapat dua atau beberapa pendapat
mengenai suatu masalah dan harus diteliti mana yang paling benar.
C.
Respon Umat Islam terhadap
Pemikiran Hadis al-Dihlawi
Dalam
menyikapi pemikiran Syah Waliyullah al-Dihlawi dalam memahami hadis Nabi saw.,
umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: pertama, kelompok yang ingin
menjadikan seluruh hadis sebagai hukum yang harus diikuti. Kelompok inilah yang
kurang sepakat dengan pemikiran Syah Waliyullah.
Kedua,
adalah mereka yang sepakat dengan pemikiran al-Dihlawi karena menganggap
pemikirannya sangat moderat. Ketiga, kelompok yang mengasingkan sunnah dari
seluruh persoalan praktis kehidupan
Syah
Waliyullah al-Dihlawi adalah pemikir yang sangat tanggap terhadap berbagai
krisis yang terjadi pada masanya dengan selalu menampilkan sikap moderat dan
selalu berusaha mencari jiwa atau hikmah dalam berbagai perintah yang
disampaikan melalui hadis-hadis Nabi saw. dan firman Allah SWT. Itulah yang
dikatakan oleh Fazlur Rahman sebagai bukti kekagumannya terhadap Syah Waliyullah.
Namun, kita tahu disetiap pemikiran manusia pasti ada calahnya, dan yang perlu
dipahami pula adalah bahwa hal tersebut bukanlah merupakan suatu kesalahan. Itu
hal biasa yang membuktikan bahwa manusia sungguh tidak berdaya dan tidak ada
daya dan upaya kecuali milik Allah SWT.
Di dalam
kitabnya al-Dihlawi menyebutkan bahwa kesepakatan sebagian sahabat bukan
merupakan salah satu sumber syariat didasarkan pada hadis Nabi saw. riwayat
Tirmidzi. Al-Dihlawi membedakan kredibilitas sahabat (meskipun kenyataannya
memang tidak sama) dan membatasi hanya kepada Khulafa’ al-Rasyidin.
D.
Kesimpulan
-
Klasifikasi sunnah
yang membedakan sunnah disampaikan Nabi saw. sebagai pembawa risalah dan yang
disampaikan Nabi saw. bukan sebagai pembawa risalah.
-
Metode masyarakat
dalam menerima syariat Ilahi dari Nabi saw., yang terbagi menjadi dua, yakni
diterima melalui jalur periwayatan baik yang disampaikan sejak awal oleh banyak
perawi yang berkesinambungan (mutawatir) ataupun yang tidak. Kemudian dengan
cara melalui petunjuk, yakni bahwa para sahabat melihat Nabi saw. mengucapkan
dan melakukan sesuatu
-
Al-Dihlawi mencoba
menyusun urutan kitab hadis berdasarkan validitasnya. Dan yang mengherankan ia
menyebutkan kitab al-Muwaththa’ setara dengan kitab Bukhari dan Muslim
-
Cara ia mengatasi
perbedaan diantara hadis-hadis Nabi saw. dalam hal ini pendapat ia dapat
dikatakan sama dengan mayoritas ulama hadis, yang lebih jelasnya dapat dilihat
kembali dalam pemaparan diatas
terlalu banyak animasi.
BalasHapusanimasinya juga alay banget jadi nutupin halamanya